Santri, Toleransi Dan Demokrasi
Daftar Isi
Santri Berjiwa Nasionalis
Golongan “sarungan” yang biasanya berbasiskan pesantren tradisional di lingkungan massa versi nahdliyin ini, khususnya angkatan mudanya. Benar-benar aktif dalam wawasan dan pergerakan demokratisasi, penegakkan hak asasi manusia, dan pendayagunaan warga.
Demikian pula di tengah-tengah ramainya tindakan kekerasan, ajaran kedengkian, pemaksaan opini dan intoleransi, karena itu golongan santri paling keras dalam melawannya. Saat arus demokratisasi dan tuntutan kebebasan banyak muncul. Karena itu muslim santri ini sebagai komponen anak negeri paling depan dalam memberi respon, manyambut dan memperjuangkannya.
Sementara kelompok-kelompok lain masih bergelut dalam penelusuran dan pembicaraan mengenai landasan dan wujud negara. Golongan santri yang nasionalis telah setuju menjadikan Pancasila dan NKRI sebagai landasan negara dan wujud negara. Persetujuan ini tidak dapat terganggu tuntut kembali karena mereka percaya Pancasila dan NKRI lah sebagai landasan dan wujud negara yang bisa menjadikan satu bangsa yang paling beraneka ini.
Di mata golongan santri, mencintai dan menjaga NKRI tidak cuma masalah politik duniawi tapi juga sisi dari bentuk keimanan. Karena itu tidak aneh bila golongan santri benar-benar anti kolonialisme dan benar-benar setia pada NKRI.
Demikian juga saat lainnya gagap dan terkejut dengan issu-issu kemoderenan. Karena itu golongan santri telah terlatih dengan beragam wawasan. Yakni pendayagunaan wanita dan golongan marjinal, pengajaran sex dan kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, egaliterianisme, pengokohan civil society, hak asasi, kearifan lokal, toleransi antar umat beragama, akseptasi kebinekaan dan negara berkebangsaan berdasar Pancasila.
Santri dan Kitab Kuning
Mengapa golongan santri tidak gagap dan terkejut dengan beberapa ide modernitas, bahkan juga mereka tampil jadi praktisi demokrasi, toleransi, dan berkebangsaan. Walau sebenarnya semula mereka biasa terdidik dalam situasi dusun yang tradisionil. Lompatan dari tradisionilisme jadi post tradisionilisme ini – pinjam ide Rumadi (2008) – memang tidak bisa dilepaskan dari figur Gus Dur yang bisa kembalikan NU dari politik ringkas jadi organisasi sosial bungkusyarakatan.
Tetapi ada segi lain yang pantas diakui sebagai pemasti kekuatan golongan santri dalam turut menentukan arah gerak pembangunan bangsa ini yakni adat pesantren, dan salah satunya adat yang membuat jiwa dan watak santri di pesantren ialah pengkajian kitab kuning. Kitab gundul, ialah satu rukun 5 rukun pesantren, sesudah kiyai, masjid, santri yang mondok dan pondoknya. Umumnya diberikan di pondok-pondok pesantren golongan nahdliyin ini biasanya dicatat oleh beberapa ulama era tengah.
Kitab Sebagai Literatur Keislaman Klasik
Literatur klasik berbahasa Arab tanpa harakat benar-benar kaya dengan wacana. Diantaranya pengkajian keislaman, metodologi pertimbangan, opini pakar hukum dalam bermacam sektor, penglihatan beberapa teolog mengenai bermacam kepercayaan, tuntunan-ajaran golongan sufi yang penuh dengan nilai kesucian, dan lain-lain. Karena itu pengkajian dan usaha pengetahuan tuntunan Islam yang dalam tidak dapat dipisah dari literatur-literatur keislaman klasik itu.
Dalam prosesnya, tuntunan-ajaran kitab kuning yang diberikan di pesantren atau madrasah berikut yang membuat jiwa santri jadi pribadi-pribadi unggul. Dengan watak mulia, seperti tulus, mengucapkan syukur, ulet (sabar), cari nilai beribadah dan memburu barokah, hormat pada guru dan senior, hidup sosial dalam kebersama-samaan, jaga kebersihan lahiriah dan batiniah (wara’), memberikan karakter rendah hati (tawadu’), tolerir (tasamuh) dan menghargai perbedaan (khilafiyah).
Beberapa ulama besar masa lampau sudah mengajar dalam bermacam kitab karya mereka akan nilai-nilai mulia di kehidupan, baik nilai akademik atau ringkas. Dari sisi menyampaikan opini individu (fatwa) saat mengulas satu permasalahan hukum, misalkan, seringkali ulama klasik mengatakan opini ulama lain di zaman awalnya atau yang sezaman dengannya. Beberapa ulama ini selalu dituruti dengan penyebutan judul kitab yang diambil sebagai pengutipan(cuplikan) opini. Ini memperlihatkan semenjak dulu beberapa ulama benar-benar junjung tinggi konsep keterbukaan. Berikut nilai-nilai yang mulai terkikis dan jadi kedukaan dalam usaha peningkatan perguruan tinggi modern di Indonesia sekarang ini.
Toleransi dan demokrasi
Dalam kitab kuning tingkat menengah dan tinggi, terutamanya di bagian hukum atau fikih. Selalu dirinci ketidaksamaan opini secara tajam dan dalam di antara dua atau beberapa faksi yang lain. Tetapi bermacam opini yang berlawanan masih diuraikan secara adil dan seimbang. Faksi kontra dan pro diberi ruangan ulasan secara imbang.
Beberapa ulama klasik, imam Nawawi misalkan dalam kreasinya Minhajut Talibin (vol. 1 – 4). Kerap memilih satu opini yang dinilai paling kuat (rajih/arjah) tapi opini yang berseberangan masih diuraikan walaupun kemungkinan dipandang lebih kurang kuat (marjuh). Dengan paparan yang detil, terbuka dan adil. Karena itu ulama penulis kitab kuning sudah membuka kebebasan pada pembacanya untuk menganalisa dan memutuskan sendiri mana opini yang terbaik, paling kuat dan paling maslahat menurutnya. Nilai-nilai demokratis berikut yang membuat jiwa santri saat di pesantren atau di tengah-tengah warga hingga siap terima bermacam pengubahan.
Tidak berhenti pada adil dan imbang saja, beberapa ulama penulis kitab kuning masih berlaku objektif dan rendah hati dalam mengaitkan atau memandang status hukum satu masalah. Meskipun satu ringkasan telah dibikin secara betul atau hukum satu kasus sudah ditetapkan secara pas. Tetapi ulama fikih selalu mengingati jika kebenaran yang dibuat itu masih relatif (nisbi) dan bukan kebenaran absolut (mutlak). Didalamnya masih ada peluang salah atau benar hingga masih ada ruangan diskusi untuk menerima atau menampik. Oleh sebab itu ringkasan yang dibentuk tidak diklaim oleh mereka sebagai kebenaran universal yang jelas. Tetapi kebenaran hanya dalam opini mereka atau satu kelompok saja.
Ulama Objektif dan Selalu Merendah
Ada pernyataan al-ashahhu ‘indana (yang lebih betul menurut opini kami) atau wallahu a’lam bisshawab (dan Allah yang paling ketahui). Saat menutup satu ulasan, jelas menunjukkan ulama objektif dan selalu merendah dengan tidak mengakui opini dan pengetahuannya sebagai salah satu kebenaran.
Beberapa ulama yang alim ini seakan ingin memberikan pelajaran supaya kita tidak egois. Memonopoli kebenaran hingga tidak patut memvonis pendapat-pendapat yang lain yang lain sebagai hal yang salah apa lagi menyimpang. Golongan ulama cendekiawan ingin mengutamakan jika tuntunan yang mereka rumuskan kebenarannya relatif sedang kebenaran yang utama cuman dari Allah swt.
Nilai-nilai kesantunan, terbuka, dan rendah hati berikut yang membuat jiwa golongan santri hingga jadi figur-figur santri toleransi dan demokrasi. Nilai-nilai berikut yang penting ditingkatkan untuk membuat keserasian di kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Penerimaan calon santri baru PONPES ROJAUL HUDA DARUN NASYA